Bagir in Memories


Entah sejak kapan ada rasa tidak begitu suka dengan orang-orang keturunan Arab pada diri saya ini, mungkin ini perasaan yang gak jauh beda dengan orang-orang yang rada sentimen dengan orang-orang keturunan China. Saya ini termasuk orang yang merasa kalau keturunan Arab iitu begitu eksklusif, sombong, dan rada-rada jaga jarak sama pribumi macam saya ini...
Ketidaksukaan ini tidak juga berkurang ketika untuk pertama kalinya sekitar pertengahan tahun 2003 saya bertemu dan berkenalan dengan Bagir. Orangnya tinggi besar, agak membungkuk, kulitnya gelap, mancung, dan suka senyam-senyum sendiri, bukan berarti murah senyum lho, tapi emang Bagir ini suka senyam-senyum sendiri, lagi ada masalah senyum, lagi dimarahin senyum, lagi dijahilin (digethok kepalanya, dibugilin, dll) tetep aja senyum-senyum ketawa...
Seorang kawan pernah punya cerita unik tentang Bagir...Kejadiannya sekitar 8 tahunan yang lalu, suatu malam beberapa kawan saya "cabut" (keluar g ijin) dari pondok untuk cari makan... Tiba-tiba Bagir dari belakang ingin ikut jg cari makan, karena mungkin merasa bahwa Bagir bakal merusak obrolan nanti (karena belum begitu kenal waktu itu) kawan saya ini malah kabur menghindar biar si Bagir ini tidak jadi ikut. Iya sih, pada akhirnya si Bagir ini tetep ikut makan juga dengan kawan-kawan saya yang masih ngedumel karena obrolan jadi rada garing karena belum begitu akrab...
Kebetulan saja, ditempat yang sama ada Ustad Pondok yang lagi razia.. kena pergok deh sekelompok santri badung ini karena keluar tanpa ijin... begitu mau marah, si Ustad ini melihat Bagir juga sedang makan di sana... dengan air muka yang berubah 180 derajat Ustad ini langsung nyletuk sambil senyum: "Eh, Habib Bagir..." sambil salaman dan mengecup tangannya...
Gilaaaaa!!!?? kawan-kawan saya ini mimpi apa semalam, melihat seorang santri dicium sama gurunya... ini namanya membalikkan tuntunan ajaran hubungan Guru-Murid dalam kitab Ta'lim Muta'alim. Dan begitu sampai pondok, mereka ini senyam-senyum saja sampai kamar sambil bangga bercerita bahwa tadi ada kejadian aneh bin ajaib... Gobloknya lagi, si Bagir juga ikut senyam-senyuma aja tanpa dosa... Alaaaah dasar kau ini, Gir...Gir...
Seorang Bagir di mata saya punya arti penting dalam membalikkan paradigma tentang anak-anak Habib... Bayangan saya sebelum kenal Bagir, mereka adalah orang-orang eklusif yang sangat manja, apa-apa punya; mobil, motor bagus, duit banyak, pakaian bagus, dll... Tapi kalau Anda melihat dan bersapa langsung dengannya, saya jamin Anda pasti malah ragu: "Ini orang beneran keturunan Habib gak sih..."
Pertemuan terakhir kami adalah saat saya, Wahid, dan Panjul (kawan kampus saya) mampir di Tegal, perjalanan dari Jakarta. Saat itu saya sengaja mampir karena memang belum pernah ke rumah Bagir sebelumnya... disuruh menunggu di salah satu sudut jalan di Tegal, Bagir datang menjemput beserta seorang sopir pribadinya dengan mengendarai becak! Mukanya masih saja lusuh karena kacepan, dangan tanpa menghitung uang di sakunya ia berikan saja bayaran ke tukang becak yang pasti itu uang lebih banyak daripada seharusnya...
Entah memang didikan dari Habib Ali (ayahandanya) atau kultur di Pondok, Bagir sama sekali tidak pernah merasa kalau dia ini adalah keturunan Rasulullah. Barangkali di kampung halamannya Bagir kalau keluar rumah langsung dikecup tangannya, dihormati, dilayani.... saya tidak tahu kalau itu. Yang jelas, di kamar kami, posisi Bagir ini sama saja dengan kami... sama kemprohnya, sama badungnya, sama nylenehnya juga... Bayangin saja seorang habib mau-maunya mijitin temannya kalu ada yang kecapen, mbeliin lauk kalo mau makan (padahal Bagir juga yang modal dan dia juga yang berangkat), mandi bebarengan 5 orang dalam satu kamar mandi, joinan sikat gigi, dan hal-hal lain yang bahkan tidak bisa Anda bayangkan...
Keterkejutan yang sama juga terjadi ketika untuk pertama kalinya kami bertemu dengan Habib Ali (Ayah Bagir)... Biasanya, seorang habib akan memakai pakaian jubah warna putih dengan peci putih kalo mau kemana-mana, itu semacam patron yang ada dalam bayangin kami begitu mendengar nama orang dengan gelar "Habib"... Nah, saat bertemu dengan Habib Ali, pertama, kami waktu itu tidak tahu kalau belia adalah seorang habib, dan kedua kami tidak tahu kalau beliau adalah seorang wakil walikota juga...
Bagaimana kami tahu, pakaiannya sederhana, cuma pake batik, orangnya begitu supel... bukan kami yang mendekat untuk bersalaman dengan beliau, tapi Habib Ali lah yang mendekat ke arah kami dan mengajak bersalaman. Bersahaja, sederhana, dan sangaaat ramah...
Ketika kami tahu itu adalah Ayah Bagir, seperti disetrum listrik kami satu kamar langsung sibuk mengadakan roan/gotong royong bersama layaknya persiapan penyambutan pejabat negara... Meskipun kondisi kamar waktu itu sangat kotor dan Habib Ali tahu benar sekotor apa tempat anaknya tidur dan beraktivitas, tapi Habib Ali tetap senyam-senyum ramah, mirip benar seperti Bagir putranya...
Sayangnya, senyum dari Habib Ali pagi itu tidak nampak sama sekali. Justru tangis yang tak tertahankan yang ditunjukkan beliau kepada kami ini, kawan-kawan sekamar Bagir dulu selama nyantri... Berulangkali Beliau justru memohon kepada kami untuk mengikhlaskan segala macam kesalahan yang pernah dilakukan Bagir kepada kami...
Kesalahan Bagir kepada Kami?
Mana ada? Justru sebaliknya, kami yang punya banyak salah kepada anak Anda, Bib... Ada mas Zulian yang sering mengerjain anak Anda, ada Sholehul Hadi yang sering minta dipijitin tiap malam, dan tidak terhitung ada berapa santri di pondok yang sering ditraktirnya makan...
Beliau juga meminta untuk menyebutkan apa Bagir punya utang kepada salah satu dari kami?
Memang sih ada, tapi itu pun bentuknya KTP. Dan itu KTP kawan kami Alaik Azizi yang masih dibawa oleh Bagir karena mungkin untuk kenang-kenangan. Ketika ada salah satu kawan saya yang goblok menyebutkan hal itu ke Habib Ali, tentu saja Ayah Bagir begitu terkejut dan memohon dengan sangat kepada Alaik untuk mengiklaskannya... Tanpa dminta pun sudah pasti diiklaskan... karena justru kamilah yang banyak berhutang kepada Bagir...
Berita kematian kawan kami kinim bahkan sampai waktu saya menulis catatan ini, beberapa kawan saya masih tidak mau untuk percaya bahwa Bagir kawan kami telah meninggalkan kami. Kalau saya sendiri beserta kawan-kawan saya yang takziyah kemarin, kami tidak merasa kehilangan seorang Bagir... apalagi ketika kami mendapat kehormatan sebagai yang pertama menyolati jenazah sahabat kami ini (sebelum dibawa ke masjid agung Tegal untuk disholatkan lagi di sana), dalam benak kami, masih terdengar jelas bagaimana suara Bagir yang ketawa... seolah-olah, dalam riuhnya doa di ruangan itu, kami benar-benar mendengar suara Bagir yang mengajak kami ngobrol...
Di awal kedatangan kami ke rumahnya Bagir Jumat pagi itu, saya bisa menangkap mata-mata merah dan sembab dari kawan-kawan saya. Setiap dari kami ingin menyembunyikannya dengan alibi "pura-pura" ngantuk, tapi saya yakin benar ada rasa kehilangan yang dalam dari kawan-kawan saya ini ketika seorang Bagir dijemput lebih dulu....
Tangisan kecil kami memang hanya sebentar... apalagi setelah jenazah Bagir selesai dimandikan, setiap dari kami tersenyum getir melihat tubuh besar itu kini terbaring di keranda dalam balutan kain kaffan tak begerak sama sekali. Begitu bisa melihat langsung wajah sahabat kami ini untuk terkahir kalinya, tangis dan pedih kami seketika berhenti, di sana Bagir seolah berdialog dengan kami...
Wajahnya tenang, nyaman, dan seolah bicara;" wis to ojo do nangis" dengan senyum kecil di ujung bibirnya... seolah memang senyum itu ditujukan kepada kami agar kami berhenti menangis.
Dan ketika prosesi akan dilanjutkan ke pemberangkatan, beberapa jemaat yang saya tidak kenal menangis meraung-raung ketika kebaikan-kebaikan Bagir diceritakan karena baru diketahui setelah kawan kami ini meninggal... seeperti mentraktir para tukang becak makan di Mcdonald, membelikan tiap bulan susu seorang anak, dan membayarkan biaya rumah sakit seseorang... Saat itulah Ayah Bagir tak kuasa menahan tangis...beserta para jemaat yang banyak sekali memenuhi jalan-jalan utama kota Tegal...
Bagi kami, kawan-kawan satu kamar Bagir dulu... kebaikan Bagir tidak akan bisa dimengerti... Maka dari itu ketika Habib Ali menanyakan bagaimana kehidupan Bagir selama di pondok Al Muayyad, kami tak kuasa menjawab, karena kalau sampai Habib Ali tahu seberapa banyak kebaikan anaknya, pastilah beliau akan lebih menangis penuh haru lagi... untuk itulah kami enggan untuk menceritakannya. Biarkan hanya kami yang tahu, karena masing-masing dari kami ingin punya wilayah kenangan pribadi dengan seorang Habib Muhammad Bagir bin Habib Ali...
Sampai jumpa kawan... semoga anak-anak kami esok bisa meneledani sifat dermawanmu yang luar biasa itu...
Dan nanti ketika anak kami bertanya kepada kami, "Siapa to Habib Bagir itu?"... dengan bangga kami bisa menjawab, "Dia dulu teman sekamar Ayahmu, Nak...".
Posted by Khadafi dalam catatannya.
Terakhir Diperbaharui ( Selasa, 05 Juni 2012 12:22 )