Kang Sodrun masih belum terpejam meski jarum jam sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB Kamis malam Jum’at. Meski sudah delapan jam dirinya sudah berada di rumah namun pikirannya masih melekat kuat di tempat kerjanya. Sebuah pertemuan singkat dengan Mbah Darmo dan Mbok Jumi’ah siang tadi di kantornya meninggalkan bekas yang sangat lekat di hatinya.
Kebetulan seharian tadi tak banyak pekerjaan yang mesti ia selesaikan. Waktu senggang itu ia gunakan untuk main ke ruang sebelah di bagian pelayanan jemaah haji. Kebetulan ada dua calon jemaah haji yang sedang mendaftar. Mbah Darmo dan Mbok Jumi’ah namanya. Penampilan kedua tamu itu menarik perhatiannya. Penampilan orang desa yang jauh dari wah apalagi mewah. Siapapun bisa menebak kalau pasangan tua itu bukan orang berduit.
Iseng-iseng Kang Sodrun mengajak dua orang itu berbincang.
“Mbah, jenengan daftar haji habis jual sawah apa, Mbah?”
Ditanya begitu Mbah Darmo dan Mbok Jumi’ah malah tersenyum, keduanya saling berpandangan. Yang menjawab kemudian malah Mbok Jumi’ah.
“Kami ini orang mlarat, Mas. Mau jual sawah, sawahnya siapa? Wong sepetak saja ngga punya.”
“Lah apa dibayari anak-anak, Mbok?” Kang Sodrun penasaran.
“Ngga punya anak, Mas,” keduanya menjawab berbarengan. Lalu Mbok Jumi’ah yang melanjutkan, “dari pertama nikah Gusti Allah belum kersa memberi kami keturunan.”
“Terus bisa daftar haji uangnya dari mana?”
“Nabung, Mas.” Mbah Darmo menjawab cepat singkat.
“Kami ini orang melarat, Mas,” Mbok Jumi’ah menyambung, “suami saya kerjanya dari dulu cuma serabutan. Kadang mbecak, buruh bangunan, buruh sawah, pokoknya seadanya pekerjaan. Saya sendiri dari dulu sampai sekarang jualan nasi ponggol setiap pagi di depan rumah. Sekarang setelah suami saya ini sudah tua dia ngga kerja lagi. Dia membantu saya berjualan nasi ponggol. Jenengan tahu kan berapa besar penghasilan jualan nasi ponggol dan buruh serabutan?”
Kang Sodrun tersenyum. Ia paham tak banyak penghasilan berjualan nasi ponggol. Sekedar informasi, nasi ponggol itu sebutan khas masyarakat Kota Tegal untuk nasi bungkus. Biasanya nasi ini dijual setiap pagi untuk sarapan di pinggir-pinggir jalan. Dibungkus dengan daun pisang dan kertas koran dengan lauk khas sambal goreng tempe dan mie goreng. Sebungkus umumnya dijual seribu lima ratus perak.
Mbok Jumi’ah melanjutkan, dari penghasilannya berjualan nasi ponggol itu setiap hari ia selalu berusaha menyisihkan untuk ditabung meski cuma seribu dua ribu perak. Terkadang bila dagangannya sedang laris manis ia bisa menabung hingga lima ribu perak. Tabungan itu ia niati untuk berhaji. Hanya untuk berhaji. Ia dan suaminya tak pernah mengutak-atik tabungan itu untuk keperluan lain.
Saat Kang Sodrun menanyakan berapa lama semua itu terkumpul sampai bisa untuk mendaftar haji, keduanya kompak menjawab, “Tiga puluh tahun, Mas.”
Hah!! Kang Sodrun tercengang. Selama itu mereka mampu bertahan untuk sebuah niatan kuat berhaji ke rumah Sang Pencipta.
Hingga larut malam ini pertemuan Kang Sodrun dengan dua calon jemaah haji itu masih membekas di benaknya. Seorang pedagang nasi ponggol dengan keuntungan sangat minim bisa berhaji karena kemauan keras untuk menabung meski harus selama tiga puluh tahun. Kang Sodrtun tersenyum, mencibir dirinya sendiri.
Sebagai seorang yang berpenghasilan lebih mestinya ia harus lebih mampu dari Mbah Darmo dan Mbok Jumi’ah. Kenyataannya ia tak pernah mampu. Atau bahkan sebetulnya bukan tak pernah mampu, tapi tak pernah mau. Itu kuncinya! Kang Sodrun menyimpulkan sendiri.
Dalam benaknya, mestinya orang yang mampu membeli sepeda motor secara kredit ia sudah mampu dan terkena kewajiban haji. Ia mencoba menghitung. Dengan uang muka tiga juta dan angsuran lima ratus ribu setiap bulan selama tiga tahun, maka harga sepeda motor itu setelah lunas adalah dua puluh satu juta. Artinya, orang yang bisa kredit seperti itu sama saja bisa mengumpulkan uang dua puluh satu juta selama tiga tahun. Berbarengan dengan itu ia dan keluarganya juga masih bisa makan dengan layak, membayar biaya sekolah, biaya kesehatan, dan lainnya.
Tapi mengapa ketika dituntut untuk menabung untuk berhaji selalu saja banyak orang mengatakan “untuk kebutuhan sehari-hari saja masih pas-pasan, bagaimana mau nabung buat haji?” Kang Sodrun berpikir, apa ketika mereka kredit sepeda motor mereka tidak makan, tidak bayar sekolah, dan saat sakit tidak berobat? Bukankah mereka kredit sepeda motor sampai lunas dan kehidupan keluarga tetap berjalan? Bahkan ketika belum ada uang untuk angsuran kredit mereka berusaha meminjam agar motor tak ditarik dan pada akhirnya uang pinjaman itu juga bisa dikembalikan juga? Tapi ketika dimaksudkan untuk haji, mengapa semuanya jadi berubah? Mengapa semuanya mengaku belum mampu?
Mungkin, pikir Kang Sodrun, pemahaman tentang haji mesti diubah. Selama ini haji dipahami sebagai rukun agama yang hanya wajib bagi yang mampu saja. Barangkali akan lebih baik bila pemahaman itu kini diubah bahwa sebagai rukun (tiang penyangga agama) haji itu wajib bagi semua orang yang mengaku beragama Islam, kecuali yang tidak mampu dia terbebas dari kewajiban itu. Menurut Kang Sodrun pemahaman seperti itu sangat perlu mengingat akan berdampak pada perilaku selanjutnya.
Kang Sodrun termenung. Lalu bagaimana dengan diriku? Mestinya aku merasa malu pada Tuhanku. Seorang pedagang nasi ponggol saja dengan penuh semangat menyambut panggilan Tuhan untuk bertamu ke rumah-Nya. Lah Aku?-YAZ -