KESABARAN TARLIM

Tarlim masih terpaku di tempat duduknya, di lantai musholla kecil yang ada di tengah-tengah pesantren tempat ia mengaji. Di tangannya masih tergenggam Al-Qur’an. Sudah beberapa jam yang lalu ia membaca kitab ayat-ayat suci itu. Lebih tepatnya ia tidak membaca, tapi menghafal. Kini ia termenung.

Ada satu hal yang menyuntuki pikirannya. Bertahun-tahun aku mencoba menghafal Qur’an, tapi hafalanku masih itu-itu saja, tak kunjung bertambah banyak. Begitu pikiran Tarlim. Sudah lama ia ingin menyampaikan hal ini pada Kiai Ahmad, pengasuh pesantren. Tapi Tarlim selalu menunda. Ia ingin terus mencoba. Namun ketika kesabaran itu sudah menyuntuki pikirannya, akhirnya ia putuskan mengadukan masalahnya pada Sang Kiai.

Kepada santri itu Kiai Ahmad bertutur dengan wibawa namun penuh kasih sayang. “Tarlim, aku tahu betapa kamu sangat berharap menjadi seorang yang hafal Qur’an. Tapi aku berharap kamu bisa terus bersabar. Aku melihat kemampuanmu sangat terbatas untuk bisa hafal Qur’an keseluruhan. Yakinlah, bila kamu terus mencoba menghafalnya, kelak bukan kamu yang hafal Qur’an, tapi anak-cucumu. Anak-cucumu kelak yang akan menikmati buah kesabaranmu menghafal. Anak-cucumu akan menjadi generasi penerus penjaga Al-Qur’an.”

Tarlim menangis. Ia tidak sedih dengan penuturan kiainya. Ia justru bangga Sang Kiai mendoakan anak turunnya sebagai generasi yang akan mewujudkan cita-citanya. Karenanya ia tetap berusaha menghafal Qur’an, kapanpun dan dimanapun ia berada dan ada kesempatan. Ia sangat yakin dengan do’a Sang Kiai yang dikenal sebagai seorang wali Allah itu.

Kejadian ini berlangsung di awal tahun 1900-an. Di sebuah pesantren kecil di sebuah desa kecil di Klaten, Jawa Tengah. Tak kurang dari dua puluh tahun kemudian, apa yang dikatakan Kiai Ahmad mulai terbukti. Tarlim yang kemudian berganti nama Abdul Manan, dan kini dikenal dengan KH. Abdul Manan (alm), memang tak juga hafal Qur’an hingga Allah memanggilnya. Namun, banyak keturunannya yang mewujudkan cita-cita itu sebagaimana dituturkan Kiai Ahmad.

Dari anak-anaknya bisa disebutkan KH. Ahmad Umar Abdul Manan, KH. Ahmad Djisyam, dan KH. Ahmad Nidhom. Ketiganya adalah generasi KH. Abdul Manan yang hafal Qur’an di usia muda dan mengasuh santri di pesantren. Ditambah lagi belasan cucunya yang juga hafal Qur’an di luar kepala. Mereka telah menikmati jerih payah Tarlim dalam usaha menghafal Al-Qur’an. Mereka menikmati manisnya buah kesabaran bapak dan kakek mereka dalam beribadah. Orang tua mereka yang menanam, keturunannya yang memetik.

Saya teringat akan tulisan Tajudin Nauval dalam Hadiqah Auliya’-nya. Saat bercerita tentang rumah anak-anak yatim yang hampir roboh dan ditegakkan kembali oleh Nabi Khidir bersama Nabi Musa. Saat Nabi Musa mempertanyakan pembangunan rumah ini, Nabi Khidir menjelaskan, bahwa rumah tersebut adalah milik dua anak yatim. Kedua orang tua anak yatim itu adalah orang-orang saleh yang dikasihi oleh Allah. Karenanya Allah memerintahkan untuk untuk membangun kembali rumah yang hampir roboh itu demi kasih sayangnya pada dua orang tua yang saleh.

Dalam tulisannya Tajudin Nauval menuturkan bahwa yang dimaksud orang tua pada kisah tersebut bukanlah orang tua kandung yang melahirkan dua anak yatim itu. Yang dimaksud orang tua di sini adalah kakek pada urutan ke tujuh dari anak-anak yatim itu.

Subahnallah, Maha Suci Allah! Bila memang demikian, maka betapa kesalehan orang tua--pada tingkatan ke tujuh sekalipun—dapat memberikan kemanfaatan bagi keturunan, bagi anak-cucu. Bila kesalehan orang tua pada tingkatan generasi ke tujuh saja bisa sedemikian berpengaruh pada keturunannya, bagaimana dengan kesalehan orang tua kandung pada anak kandungnya? Allah Maha Besar! Sebuah pendidikan bagi mereka yang bahkan belum menikah namun mengharapkan keturunan yang saleh dan salehah.

Kisah Tarlim di atas diceritakan oleh Kiai Nidhom (putra KH. Abdul Manan) kepada penulis saat sowan di rumahnya beberapa bulan sebelum beliau wafat. (YZD)