HIKMAH RAMADHAN
 
Segala sesuatu yang berhubungan dengan niat, selalu ada dalam hati. Atau selalu dengan hati. Sama sekali tidak dengan lisan. Oleh sebab itu, melafadzkan atau mengucapkan niat tidaklah wajib hukumnya. Namun demikian, tidak pula suatu bid’ah yang dosa dan sesat, meskipun hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Pengucapan niat pada hakikatnya dimaksudkan untuk memasukkan isi lafadz niat tersebut ke dalam hati yang oleh sebab itu menurut suatu mazhab dipandang sunnah  hukumnya, lantaran diyakini akan menjadi pendorong tercapainya suatu yang wajib. Hanya satu yang perlu diperhatikan yakni bahwa wajibnya sebuah niat, tidak akan pernah terpenuhi hanya dengan ucapan lisan, tanpa ada dalam hati.

Bilakah Sebaiknya Berniat Puasa?


Berdasarkan As Sunnah, memang ada perbedaan alokasi waktu untuk berniat antara puasa Ramadhan dan puasa sunnah. Niat puasa Ramadhan harus dilaksanakan pada malam hari sampai menjelang fajar, sedangkan niat puasa sunnah tidak.

???? ???? ????????? ?????????? ?????? ????????? ????? ??????? ????

”Siapa saja yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.”(HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majjah, dari Hafshah)

Hadits yang di atas menegaskan bahwa tidak sah puasa seseorang dengan niat pada saat fajar terbit, apalagi sesudahnya.

Adapun niat puasa sunnah sampai dilaksanakan sebelum tergelincir matahari ke arah barat (masuk waktu dzuhur) dan sebelum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Hal ini didasarkan pada sebuah Haditz Riwayat Muslim dan Abu Dawud tentang apa yang dikisahkan oleh Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW pada suatu hari bertanya kepadanya: ”Apakah ada makanan ?” Aisyah menjawab ”Tidak”. Lantas Rasulullah bersabda : ”Kalau begitu aku berpuasa”


Apa Sajakah yang Diwajibkan dalam Niat Puasa?

Sesuatu niat dalam ibadah, harus memenuhi beberapa kriteria yang disesuaikan dengan ibadah yang akan dikerjakan. Untuk niat puasa, ada dua kriteria yang harus dipenuhi. Pertama, bermaksud mengerjakan puasa, yang masuk kategori; qosdul fi’li.

Kedua menyatakan puasa apa yang akan dikerjakan, misalnya puasa Ramadhan, puasa kaffarah, puasa nadzar dan lain sebagainya. Dimana hal ini masuk kategori ; Atta’yin. Adapun yang menyempurnakan adalah menegaskan fardhu atau sunnahnya puasa yang akan dikerjakan, yang masuk dalam kategori ; Atta’arrudl. Lantas, menegaskan bahwa puasa yang akan dikerjakannya itu semata-mata karena Allah SWT.


Apakah Sah Puasa Satu Bulan Ramadhan dengan Niat Satu Kali?

Puasa Ramadhan adalah ibadah, dan setiap ibadah wajib disertai denga niat, sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khathab RA, yang dapat disimpulkan bahwa sebuah niat tidak dapat digunakan untuk dua kali ibadah atau lebih.

Hari-hari puasa Ramadhan merupakan merupakan suatu bentuk ibadah tersendiri yang sama sekali tak terkait dengan puasa hari sebelum dan sesudahnya. Oleh sebab itu, setiap hari puasa Ramadhan membutuhkan niat tersendiri.

Namun demikian, sebagian dari para Fuqaha ada pula yang berpendapat lain yakni bahwa ; ”Puasa sebulan Ramadhan itu cukup hanya berniat satu kali saja pada hari pertama”. Dimana pendapat itu didasarkan pada penilaian bahwa puasa sebulan Ramadhan itu adalah sebuah kesatuan, tidak terpecah-pecah, sehingga layak disebut sebagai satu bentuk ibadah, dalam artian antara malam hari yang boleh makan minum dengan siang hari yang harus berpuasa, sudah merupakan suatu gaungan ibadah puasa.

Selain itu mereka juga mengacu pada sebuah Hadits kewajiban niat yang menyatakan bahwa seseorang itu hanya memperoleh apa yang telah diniatkannya. Dalam hal ini mereka berpendapat bahwa jika seseorang sudah sekali berniat untuk melaksanakan puasa sebulan Ramadhan, maka ia akan mendapat yang sesuai dengan apa yang telah diniatkannya itu. Atau dengan kata lain, puasanya sebulan Ramadhan itu sah.

Sejauh penghematan kami, pendapat yang kedua ini yakni sah berniat satu kali untuk sebulan puasa Ramadhan sangatlah lemah, lantaran hadits yang dijadikan dasar acuan pendapat mereka itu masih memiliki relatifikasi pengertian yang beragam. Artinya pernyataan hadits bahwa seseorang itu akan mendapatkan apa yang telah diniatkannnya, boleh jadi memang bisa digunakan untuk mengesahkan niat satu kali puasa sebulan Ramadhan, jika puasa sebulan Ramadhan itu benar-benar merupakan suatu bentuk ibadah yang menyatu.

Namun nyatanya walaupun nampak layak disebut ibadah yang menyatu tak dapat kita pungkiri pula bahwa setiap hari puasa dalam bulan Ramadhan merupakan suatu bentuk ibadah yang mandiri, sama sekali tidak terkait dengan hari sebelum atau sesudahnya. Bukti yang paling kongkriet yang mendukung pernyataan ini adalah ; ”Batalnya sehari puasa Ramadhan sama sekali tidak mempengaruhi puasa hari berikutnya ”. Dan juga sudah jelas bahwa hari-hari puasa dalam bulan Ramadhan itu merupakan suatu ibadah yang mandiri maka sulit diingkari bahwasanya setiap hari puasa ramadhan itu harus disertai dengan niat tersendiri.


Bagaimana Jika tidak Niat Puasa pada Malam Harinya?


Adalah rukun puasa yang merupakan unsur dasar dari setiap ibadah. Oleh sebab itu, tidaklah sah puasa seseorang jika tidak disertai dengan niat. Dan jika telah dinyatakan bahwa niat puasa fardlu itu harus dilakukan pada malam hari, maka tidak sah berniat pada terbit fajar atau sesudahnya. Dengan demikian jika seseorang tidak berniat puasa Ramadhan pada malam harinya, maka tidaklah puasanya, sehingga ia wajib melakukan qadha. Namun demikian tidaklah ia berdosa karenanya, jika tidak berniatnya itu disebabkan karena uzur, seperti lupa atau tertidur sampai masuk waktu subuh. Selain itu ia tetap berlaku dan bertindak sebagaimana layaknya orang yang sedang berpuasa, lantaran ia tidak termasuk orang yang diberi keringanan untuk meninggalkan puasa yang memperoleh kebebasan berbuka.

Sementara itu, ada pula pendapat lain yakni bahwa dengan ditinggalkannya niat puasa oleh seseorang pada malam harinya karena uzur misalnya maka ia diperbolehkan berniat puasa Ramadhan pada pagi harinya. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa, pada suatu hari tanggal 10 Muharam Rasulullah SAW memberi perintah kepada salah seorang sahabatnya agar menginstruksikan kepada semua orang baik yang sudah makan ataupun belum untuk berpuasa.

Menurut kami, pendapat ini patut diterima dengan dasar kebijakan pertimbangan alasan uzur tersebut bukan lantaran puasa Muharam yang memang bukan fardhu, sebelum difardukannya puasa Ramadhan.

Namun demikian kami tetap memandang bahwa pendapat pertama jauh lebih kuat lantaran diwajibkannya berniat puasa malam hari itu didasarkan pada hadits yang sharih atau tegas sebagaimana riwayat dari Hafshah RA. Sehingga apapun alasannya udzur atau tidak secara mutlak niat puasa fardhu pada malam hari itu wajib.


KH Arwani Faishal
Wakil Ketua PP Lembaga Bahtsul Masa'il NU
 
sumber: NU Online