Cerpen Fatimah Wahyu Sundari

Dimuat : SOLOPOS, Minggu 17 Januari 2010

Aku melangkah ragu. Tanganku memegang pintu gerbang Taman Kota yang warna catnya mulai memudar. Di taman kota ini aku berdiri mematung. Meski disebut taman ini bukanlah taman biasa. Taman yang terletak di sebelah barat terminal bus ini mempunyai arti tersendiri buatku.. Taman ini dibuat khusus oleh ayahku sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-7 saat aku masih duduk di bangku SD.

Aroma khas taman ini masih kentara. Serasa tenang saat kuhirup aroma wangi melati. Melati merupakan tanaman bunga hias perdu berbatang tegak yang hidup menahun. Karena hidup menahun maka aku bisa menikmatinya setiap saat. Rumput hijau membentang di seluruh penjuru taman. Daun dari pohon akasia yang berwarna coklat berguguran menghiasi rerumputan itu. Aku berjalan menuju ayunan. Kunikmati alam bawah sadarku saat tanganku mulai mengayunkan tempat yang dulu menjadi mainanku.

Aroma melati masih bersarang di hidungku. Tanganku tak sabar untuk segera memetik melati, mencumbui aromanya. Satu persatu kepingan kenangan tertata serupa puzzle, mainan kesukaanku.

Kenangan masa lalu menyamarkan senyumku, menjelma kisah yang terpendam bertahun-tahun. Kuingat sewaktu masih duduk di sekolah dasar, saat kali pertama aku bertemu seorang sahabat. Saat itu baru saja aku pulang sekolah. Seperti biasa aku mampir di taman kesayanganku yang setelah aku kuliah kutahu ini hanya taman kota. Ternyata ayah membohongiku. Ini bukan dibuat khusus untukku.
Di taman ini aku sering merenung atau lebih tepatnya melamun. Entah mengapa dan dari mana awalnya aku mempunyai hobi melamun sejak kecil. Punya bakat jadi penyair mungkin. Di sinilah aku menjumpai seorang yang hingga kini masih kuanggap seorang sahabat. Tanpa sengaja saat itu pandanganku menuju arahnya yang bersantai di bawah pohon beringin tua. Dia masih berseragam putih biru tapi ditangannya kulihat rokok yang menyala dan tentu meracuni tubuhnya sendiri. Merokok adalah hal yang paling kubenci. Di keluargaku tak ada yang merokok. Ayahku tak pernah merokok. Aku akan menyuruh tamu yang kebetulan bertandang ke rumah untuk mematikan rokoknya. Kalau tamu-tamu itu masih nekat merokok hal konyol yang sering kulakukan adalah merebut paksa puntung rokok lalu membuangnya. Biasanya mereka mengeluarkan sebungkus rokok untuk menyulut batang rokok baru lalu sesegera mungkin aku merebutnya dan menyembunyikannya. Baru kemudian saat tamu itu pamit pulang aku akan menyerahkannya kembali.

Aku menuju ke arahnya dengan sedikit perasaan takut. Kuatur nafas agar nada bicaraku tetap datar.
“Maaf, kak. Bisa anda tidak merokok di tamanku.Hargai hak orang lain untuk dapat udara bebas?” Aku menegurnya seperti satpam swalayan. Ia menegadah dengan tatapan tenang. Ia tidak marah atau tersinggung.
”Oh, maaf. Ini tamanmu?”.
Aku mengangguk. Ia menjatuhkan rokoknya lalu menginjaknya hingga api itu padam.
”Namamu siapa, Dik?” Ia mengulurkan tangan bermaksud berkenalan. Kucari jawaban di sela-sela matanya. Aku masih ragu dengan orang yang baru kukenal.
”Ayu, kamu?” Aku tak menyambut uluran tangannya.
”Eka”.
Lelaki kecil itu kemudian menatap tajam kearahku.
”Terima kasih. Kau adalah orang pertama yang mau ngingetin aku. Selama ini tak ada orang yang memperdulikanku. Mulai sekarang aku takkan merokok lagi”.
Seiring berjalannya waktu kami masih bersahabat hingga aku berseragam putih abu-abu. Dan dia kuliah di sebuah universitas swasta di kota ini. Kami masih bertemu di taman ini. Mungkin malaikat yang mengatur pertemuan kami karena sebelumnya kami tak pernah membuat janji. Sering kulihat mata Eka berbinar, sesekali ia mencuri pandang ke arahku dan ketika kami saling bertatapan mata tanpa sengaja kami tersenyum kecil.
”Kau masih suka melati?” Tanyanya setelah libur panjang semester.
Aku menggangguk. Aku tahu dia sebenarnya tidak menyukai aroma melati. Tapi entah kenapa ia menemaniku memetik melati. Mulai kelas SMA aku suka merangkai bunga melati dengan benang lalu meletakkannya sebagai pengharum kamarku.
”Aku akan pindah dari kota ini.” Katanya kemudian.
Aku tercekat tak bisa mengucapkan apapun. Pernah ia mengajak foto bersamaku di taman ini tapi aku menolaknya. Barangkali foto itu akan dibuat kenangan. Mengingat hal itu aku merasa menyesal.
***

”Denger-denger taman di deket terminal kota itu mau dijadikan proyek perluasan terminal ya?” Ucap Pak Karto, sopir bus saat menikmati kopi di warung Bu Umi yang berada di dekat terminal.
”Iya” jawab sopir yang lain.
”Sayang, ya..? harusnya itu menjadi hiasan kota. Biar kota ini ada ijo-ijonya”. Sambat pak Karto.
“Harusnya yang lahan kosong itu yang dipakai bukan taman itu”
Aku mendengar kabar kalau taman ”pemberian” ayahku akan digusur pemerintah kota ini. Ya taman ini akan digunakan untuk perluasan terminal. Perluasan terminal?. Itu berarti kesempatan menikmati aroma melati tinggal menghitung waktu. Memang sejak sibuk KKN lalu mulai menulis skripsi, aku jarang ke taman ini. Kalau biasanya seminggu sekali. Ini adalah kedatanganku setelah 4 bulan sibuk kuliah.
Jika taman ini benar-benar menjadi terminal maka lenyap sudah ribuan kenangan yang kupelihara selama bertahun-tahun. Kenangan dengan ayahku dan..., seorang sobat kecil, Eka. Meski aku tak pernah tahu kabarnya semenjak dia memutuskan bekerja di Jakarta menjadi kontraktor bangunan. Aku masih ingat sewaktu Eka malu-malu mencuri pandang kepadaku. Kenapa lelaki itu tak mengungkap perasaannya kalau benar-benar mencintaiku. Memang kata belum pernah diucap Eka. Tapi aku percaya dia mencintaiku. Itulah yang membuatku tak pernah mau pacaran dengan lelaki manapun. Aku selalu menunggunya

Kuambil beberapa bunga melati. Mungkin di lain kesempatan aku akan sangat merindukan suasana seperti ini.
”Masih suka melati?” Aku menoleh kepada asal suara yang mengagetkanku.
” E..kaa., Hai apa kabar.?”
Kuamati tubuh kurusnya dan senyumnya. Sudah 5 tahun tak berjumpa dengan Eka membuatku kikuk.
”Melati bunga jiwaku. Aku akan selalu menyukai aromanya. Sayang taman ini yang kuharap sebagai surgaku tidak lama lagi akan berubah menjadi terminal”.Keluhku.
“Ha..ha..ha..”.
“Kok malah ketawa?”
“Aku kontraktornya.”
“Kamu?. Tega kamu kepadaku., Mungkin kamu tak mempunyai sederet kenangan di sini. Tapi bagiku ini lebih dari separuh jiwaku.” Aku mulai marah.
“ Kau menganggap taman ini hanya separuh jiwamu?, aku menganggapnya ini sepenuh jiwaku. Aku menemukan seorang gadis yang kucintai di sini dan aku meninggalkannya sebelum sempat kunyatakan cinta?,.Menyesal seumur hidup jika aku memusnahkan sisa-sisa kenanganku di taman ini. Memang aku yang menjadi kontraktor proyek perluasan terminal. Sebenernya lahan untuk perluasan terminal adalah lahan kosong milik warga yang berada di sebelah terminal, bukan taman ini.”

Tak tahan aku menahan tangis haru. Mulai saat itu aku menjadikan taman ini tak hanya separuh jiwaku, tapi sekarang sudah menjadi sepenuh jiwaku apalagi setelah Eka menikahiku.
****

Fatimah Wahyu Sundari, Penulis tinggal di Asrama Brigif 6 /2 Kostrad, Surakarta. Aktif di komunitas Thariqat Sastra Sapu Jagad.